Sabtu, 25 Februari 2017

Teori Solutio Plasenta dan Sectio Cesarea




BAB II
LANDASAN TEORI
Sectio Cesarea

A.    Konsep Sectio Cesarea
1.      Pengertian
Sectio caesarea adalah suatu tindakan pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Pada masa sekarang sectio caesarea jauh lebih aman dari pada dulu dengan adanya antibiotika, tranfusi darah, teknik operasi yang lebih sempurna dan anestesi yang lebih baik, karena itu terjadi kecenderungan untuk melakukan sectio caesarea tanpa dasar yang cukup kuat, dalam hubungan ini perlu diingat bahwa seorang ibu yang telah mengalami pembedahan sectio caesarea pasti akan mendapat parut uterus dan tiap kehamilan serta persalinan berikutnya memerlukan pengawasan yang cermat berhubungan dengan bahayanya ruptur uteri (Wiknjosastro, 2005).
Pembedahan yang paling banyak dilakukan ialah sectio caesarea transperntonealis profunda dengan insisi di segmen di bawah uterus, keuntungannya adalah perdarahan luka insisi tidak seberapa banyak, bahaya peritonitis tidak besar dan parut pada uterus yang umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri dikemudian hari tidak besar karena dalam masa nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak mengalami kontraksi seperti korpus uteri, sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna (Wiknjosastro, 2005).
Sectio cesarea adalah suatu cara yang dilakukan untuk melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina, dengan kata lain sectio caesarea adalah suatu histerotomia untuk melahirkan janin dalam rahim (Mochtar, 1998).
Menurut Wiknjosastro (2002) sectio caesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat diatas 500 gr melalui sayatan pada dinding uterus yang utuh. Berdasarkan teori di atas penulis menyimpulkan bahwa sectio caesarea adalah suatu proses pembedahan dinding perut dan uterus untuk melahirkan janin, yang dilakukan bila terdapat komplikasi atau kasus patologi yang menyertai kehamilan yang bertujuan untuk mengurangi mobiditas dan mortalitas.  
2.      Teknik Sectio Caesarea
Sectio caesarea memiliki dua tipe, yang pertama ialah dengan melakukan insisi melintang melalui segmen bawah uteri yang teregang. Yang kedua adalah teknik sectio caesarea klasik yaitu dengan insisi vertikal pada miometrium, namun jarang dilakukan, kecuali jika terjadi vaskularisasi di segmen bawah uteri yang banyak sekali atau tidak dapat dilakukan karena perlengketan yang luas atau posisi janin letak lintang dengan bahu terjepit (Jones, 2002).Teknik operasi dapat dilakukan sebagai berikut:
a.       Peritoneum yang menutupi segmen bawah uterus dibelah dan didorong ke bawah.
b.      Otot segmen bawah yang terbuka di insisi sehingga selaput ketuban menonjol ke dalam luka, sehingga insisi dapat diperluas.
 Selaput ketuban dipecahkan dan kepala dilahirkan dengan menggunakan forsep sebagai bidang miring, fundus di tekan ke bawah.
Keluarkan plasenta.
c.       Penjahitan luka insisi dilakukan lapis demi lapis dengan jahitan di sudut luka harus dilakukan dengan cermat.
d.      Kemudian dilakukan penjahitan peritoneum (Jones, 2002).
Perawatan pasca operasi tidak berbeda dengan operasi abdomen lainnya, pasien dianjurkan dengan ambulasi dini, terutama karena banyak neonatus hanya dirawat dalam kamar perawatan selama 24 – 48 jam. Sectio caesarea merupakan operasi yang aman, dengan angka kegagalan 0,1 per 1000 sectio caesarea yang dilakukan secara elektif (Jones, 2002).

B.     Konsep Solutio Plasenta
1.      Pengertian
Solulusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya sebelum janin lahir diberi beragam sebutan; abruption plasenta, accidental haemorage. Beberapa jenis perdarahan akibat solusio plasenta biasanya merembes diantara selaput ketuban dan uterus dan kemudian lolos keluar menyebabkan perdarahan eksternal. Yang lebih jarang, darah tidak keluar dari tubuh tetapi tertahan diantara plasenta yang terlepas dn uterus serta menyebabkan perdarahan yang tersembunyi. Solusio plasenta dapat total atau parsial.

untitled.bmp
Gambar Normal dan Solutio Plasenta

2.      Klasifikasi dan Macam Solutio Plasenta
a.       Solusio plasenta ringan. Perdarahannya kurang dari 500 cc dengan lepasnya plasenta kurang dari seperlima bagian. Perut ibu masih lemas sehingga bagian janin mudah di raba. Tanda gawat janin belum tampak dan terdapat perdarahan hitam per vagina.
b.      Solusio plasenta sedang. Lepasnya plasenta antara seperempat sampai dua pertiga bagian dengan perdarahan sekitar 1000 cc. perut ibu mulai tegang dan bagian janin sulit di raba. Janin sudah mengalami gawat janin berat sampai IUFD. Pemeriksaan dalam menunjukkan ketuban tegang. Tanda persalinan telah ada dan dapat berlangsung cepat sekitar 2 jam.
c.       Solusio plasenta berat. Lepasnya plasenta sudah melebihi dari dua pertiga bagian. Perut nyeri dan tegang dan bagian janin sulit diraba, perut seperti papan. Janin sudah mengalami gawat janin berat sampai IUFD. Pemeriksaan dalam ditemukan ketuban tampak tegang. Darah dapat masuk otot rahim, uterus Couvelaire yang menyebabkan Antonia uteri serta perdarahan pascapartus. Terdapat gangguan pembekuan darah fibribnogen kurang dari 100-150 mg%. pada saat ini gangguan ginjal mulai Nampak.
d.      Cunningham dan Gasong masing-masing dalam bukunya mengklasifikasikan solusio plasenta menurut tingkat gejala klinisnya, yaitu:
1)      Ringan : perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda renjatan, janin hidup, pelepasan plasenta kurang 1/6 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma lebih 150 mg%.
2)      Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre renjatan, gawat janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%.
3)      Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin mati, pelepasan plasenta dapat terjadi lebih 2/3 bagian atau keseluruhan.
3.       Penyebab Solusio Plasenta
a.       Trauma langsung Abdomen
b.      Hipertensi ibu hamil
c.       Umbilicus pendek atau lilitan tali pusat
d.      Janin terlalu aktiv sehingga plasenta dapat terlepas
e.       Tekanan pada vena kafa inferior
f.       Preeklamsia/eklamsia
g.      Tindakan Versi luar
h.      Tindakan memecah ketuban (hamil biasa, pada hidramnion, setelah anak pertama hamil ganda)
4.      Etiologi
Kausa primer solusio plasenta belum diketahui tetapi terdapat beberapa kondisi terkait, sebagai berikut:

                                                                                       Ris Relatif
Faktor Risiko                                                                      (%)

Bertambahnya usia dan paritas                                            NA
Preeklamsia                                                                      2.1-4.0
Hipertensi kronik                                                             1.8-3.0
Ketuban pecah dini                                                          2.4-3.0
Merokok                                                                          1.4-1.9
Trombofilia                                                                         NA
Pemakaian kokain                                                               NA
Riwayat solusio                                                                10-25
Leiomioma uterus                                                               NA
NA = tidak tersedia
Dikutip dari Cunningham dan Hollier (1997); data risiko dari Ananth dkk. (1999a, 1999b) dan Kramer dkk. (1997).
Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor yang menjadi predisposisi :
a.        Faktor kardiorenovaskuler
Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan eklamsia. Pada penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat hipertensi pada separuh kasus solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita yang hipertensi tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik, sisanya hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan. Dapat terlihat solusio plasenta cenderung berhubungan dengan adanya hipertensi pada ibu
b.       Faktor trauma
Trauma yang dapat terjadi antara lain:
·      Dekompresi uterus pada hidroamnion dan gemeli.
·      Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar atau tindakan pertolongan persalinan.
·      Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain.
c.        Faktor paritas ibu
Lebih banyak dijumpai pada multipara dari pada primipara. Holmer mencatat bahwa dari 83 kasus solusio plasenta yang diteliti dijumpai 45 kasus terjadi pada wanita multipara dan 18 pada primipara. Pengalaman di RSUPNCM menunjukkan peningkatan kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu dengan paritas tinggi. Hal ini dapat diterangkan karena makin tinggi paritas ibu makin kurang baik keadaan endometrium.
d.      Faktor usia ibu
Dalam penelitian Prawirohardjo di RSUPNCM dilaporkan bahwa terjadinya peningkatan kejadian solusio plasenta sejalan dengan meningkatnya umur ibu. Hal ini dapat diterangkan karena makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi menahun.
5. Leiomioma uteri (uterine leiomyoma) yang hamil dapat menyebabkan solusio plasenta apabila plasenta berimplantasi di atas bagian yang mengandung leiomioma.
6. Faktor pengunaan kokain
Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan peningkatan pelepasan katekolamin, yang mana bertanggung jawab atas terjadinya vasospasme pembuluh darah uterus dan dapat berakibat terlepasnyaplasenta . Namun, hipotesis ini belum terbukti secara definitif. Angka kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu penggunan kokain dilaporkan berkisar antara 13-35%.
7. Faktor kebiasaan merokok
Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio plasenta sampai dengan 25% pada ibu yang merokok ≤ 1 (satu) bungkus per hari. Ini dapat diterangkan pada ibu yang perokok plasenta menjadi tipis, diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas pada mikrosirkulasinya. Deering dalam penelitiannya melaporkan bahwa resiko terjadinya solusio plasenta meningkat 40% untuk setiap tahun ibu merokok sampai terjadinya kehamilan.
8. Riwayat solusio plasenta sebelumnya
Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat solusio plasenta adalah bahwa resiko berulangnya kejadian ini pada kehamilan berikutnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil lainnya yang tidak memiliki riwayat solusio plasenta sebelumnya.
9. Pengaruh lain, seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada vena cava inferior dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh adanya kehamilan, dan lain-lain.

5.      Patologi
            Solusio plasenta di awali perdarahan kedalam desidua basalis. Desidua kemudian terpisah, meninggalkan satu lapisan tipis yang melekat ke endometrium. Akibatnya, proses ini pada tahapnya yang paling awal memperlihatkan pembentukan hematom desidua yang menyebabkan pemisahan, penekanan, dan akhirnya destruksi plasenta yang ada di dekatnya. Pada tahap awal mungkin belum ada gejala klinis.
            Pada beberapa kasus, arteri spiralis desidua mengalami rupture sehingga menyebabkan hematom retroplasenta, yang sewaktu membesar semakin banyak pembuluh darah dan plasenta yang terlepas. Bagian plasenta yang memisah dengan cepat meluas dan mencapai tepi plasenta. Karena masih teregang oleh hasil konsepsi, uterus tidak dapat beronntraksi untuk menjepit pembuluh darah yang robek yang memperdarahi tempat implantasi plasenta. Darah yang keluar dapat memisahkan selaput ketuban dari dinding uterus dan akhirnya muncul sebagai perdarahan eksternal, atau mungkin tetap tertahan dalam uterus.
6.      Gambaran Klinis
Solutio plasenta ringan
Terjadi rupture sinus masrginalis. Bila terjadi perdarahan pervaginam warna merah kehitaman, perut terasa agak sakit atau terus menerus agak tegang. Tetapi bagian-bagian janin masih teraba
Solution plasenta sedang
Plasenta telah terlepas seperempat sampai duapertiga luas permukaan. Tanda dan gejala dapat timbul perlahan seperti pada  solution plasenta ringan atau mendadak dengan gejala sakit perut terus menerus, nyeri tekan, bagian janin sukar di raba., BJA sukar di raba dengan stetoskop biasa. Sudah dapat terjadi kelainan pembekuan darah atau ginjal.
Solution plasenta berat
Plasenta telah lepas lebih duapertiga luas permukaannya, terjadi tiba-tiba, ibu syok janin meningggal. Uterus tegang seperti papan dan sangat nyeri. Perdarahan pervaginam tidak sesuai dengan keadaan syok ibu. Besar kemungkinan telah terjadi gangguan pembekuan darah dan ginjal. 
7.      Komplikasi
Komplikasi solusio plasenta pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas, usia kehamilan dan lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu :
a.       Syok perdarahan
Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan telah diselesaikan, penderita belum bebas dari perdarahan postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan perdarahan pada kala III persalinan dan adanya kelainan pada pembekuan darah. Pada solusio plasenta berat keadaan syok sering tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang terlihat.
Titik akhir dari hipotensi yang persisten adalah asfiksia, karena itu pengobatan segera ialah pemulihan defisit volume intravaskuler secepat mungkin. Angka kesakitan dan kematian ibu tertinggi terjadi pada solusio plasenta berat. Meskipun kematian dapat terjadi akibat nekrosis hipofifis dan gagal ginjal, tapi mayoritas kematian disebabkan syok perdarahan dan penimbunan cairan yang berlebihan. Tekanan darah tidak merupakan petunjuk banyaknya perdarahan, karena vasospasme akibat perdarahan akan meninggikan tekanan darah. Pemberian terapi cairan bertujuan mengembalikan stabilitas hemodinamik dan mengkoreksi keadaan koagulopathi. Untuk tujuan ini pemberian darah segar adalah pilihan yang ideal, karena pemberian darah segar selain dapat memberikan sel darah merah juga dilengkapi oleh platelet dan faktor pembekuan.
b.      Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita solusio plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipovolemia karena perdarahan yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang baik. Perfusi ginjal akan terganggu karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan terjadi akibat nekrosis tubuli atau nekrosis korteks ginjal mendadak. Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang harus secara rutin dilakukan pada solusio plasenta berat. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang secukupnya, pemberantasan infeksi, atasi hipovolemia, secepat mungkin menyelesaikan persalinan dan mengatasi kelainan pembekuan darah.
c.       Kelainan pembekuan darah
Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya disebabkan oleh hipofibrinogenemia. Dari penelitian yang dilakukan oleh Wirjohadiwardojo di RSUPNCM dilaporkan kelainan pembekuan darah terjadi pada 46% dari 134 kasus solusio plasenta yang ditelitinya.
Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup bulan ialah 450 mg%, berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen plasma kurang dari 100 mg% maka akan terjadi gangguan pembekuan darah. Mekanisme gangguan pembekuan darah terjadi melalui dua fase, yaitu:
1)   Fase I
Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi pembekuan darah, disebut disseminated intravasculer clotting. Akibatnya ialah peredaran darah kapiler (mikrosirkulasi) terganggu. Jadi pada fase I, turunnya kadar fibrinogen disebabkan karena pemakaian zat tersebut, maka fase I disebut juga coagulopathi consumptive. Diduga bahwa hematom subkhorionik mengeluarkan tromboplastin yang menyebabkan pembekuan intravaskuler tersebut. Akibat gangguan mikrosirkulasi dapat mengakibatkan syok, kerusakan jaringan pada alat-alat yang penting karena hipoksia dan kerusakan ginjal yang dapat menyebabkan oliguria/anuria.
2)   Fase II
Fase ini sebetulnya fase regulasi reparatif, yaitu usaha tubuh untuk membuka kembali peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha ini dilaksanakan dengan fibrinolisis. Fibrinolisis yang berlebihan malah berakibat lebih menurunkan lagi kadar fibrinogen sehingga terjadi perdarahan patologis. Kecurigaan akan adanya kelainan pembekuan darah harus dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium, namun di klinik pengamatan pembekuan darah merupakan cara pemeriksaan yang terbaik karena pemeriksaan laboratorium lainnya memerlukan waktu terlalu lama, sehingga hasilnya tidak mencerminkan keadaan penderita saat itu.
d.      Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire)
Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot rahim dan di bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum latum. Perdarahan ini menyebabkan gangguan kontraktilitas uterus dan warna uterus berubah menjadi biru atau ungu yang biasa disebut Uterus couvelaire. Tapi apakah uterus ini harus diangkat atau tidak, tergantung pada kesanggupannya dalam membantu menghentikan perdarahan. Komplikasi yang dapat terjadi pada janin:
1)      Fetal distress
2)      Gangguan pertumbuhan/perkembangan
3)      Hipoksia dan anemia
4)      Kematian
8.      Diagnosis
Keluhan dan gejala pada solusio plasenta dapat bervariasi cukup luas. Sebagai contoh, perdarahan eksternal dapat banyak sekali meskipun pelepasan plasenta belum begitu luas sehingga menimbulkan efek langsung pada janin, atau dapat juga terjadi perdarahan eksternal tidak ada, tetapi plasenta sudah terlepas seluruhnya dan janin meninggal sebagai akibat langsung dari keadaan ini.
Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi mengandung ancaman bahaya yang jauh lebih besar bagi ibu, hal ini bukan saja terjadi akibat kemungkinan koagulopati yang lebih tinggi, namun juga akibat intensitas perdarahan yang tidak diketahui sehingga pemberian transfusi sering tidak memadai atau terlambat.
Menurut penelitian retrospektif yang dilakukan Hurd dan kawan-kawan pada 59 kasus solusio plasenta dilaporkan gejala dan tanda pada solusio plasenta.

Tabel Tanda dan Gejala Pada Solusio Plasenta
No.
Tanda atau Gejala
Frekuensi (%)
1.
Perdarahan pervaginam
78
2.
Nyeri tekan uterus atau nyeri pinggang
66
3.
Gawat janin
60
4.
Persalinan prematur idiopatik
22
5.
Kontraksi berfrekuensi tinggi
17
6.
Uterus hipertonik
17
7.
Kematian janin
15

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa perdarahan pervaginam merupakan gejala atau tanda dengan frekuensi tertinggi pada kasus-kasus solusio plasenta. Berdasarkan kepada gejala dan tanda yang terdapat pada solusio plasenta klasik umumnya tidak sulit menegakkan diagnosis, tapi tidak demikian halnya pada bentuk solusio plasenta sedang dan ringan. Solusio plasenta klasik mempunyai ciri-ciri nyeri yang hebat pada perut yang datangnya cepat disertai uterus yang tegang terus menerus seperti papan, penderita menjadi anemia dan syok, denyut jantung janin tidak terdengar dan pada pemeriksaan palpasi perut ditemui kesulitan dalam meraba bagian-bagian janin.
Prosedur pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis solusio plasenta antara lain :
a.    Anamnesis.
1)   Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien dapat menunjukkan tempat yang dirasa paling sakit.
2)   Perdarahan pervaginam yang sifatnya dapat hebat dan sekonyong-konyong (non-recurrent) terdiri dari darah segar dan bekuan-bekuan darah yang berwarna kehitaman.
3)   Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak tidak bergerak lagi).
4)   Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang-kunang. Ibu terlihat anemis yang tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar pervaginam.
5)   Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.
b.    Inspeksi.
1)   Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
2)   Pucat, sianosis dan berkeringat dingin.
3)   Terlihat darah keluar pervaginam (tidak selalu).
c.    Palpasi
1)   Tinggi fundus uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya kehamilan.
2)   Uterus tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden uterus) baik waktu his maupun di luar his.
3)   Nyeri tekan di tempat plasenta terlepas.
4)   Bagian-bagian janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang.
d.   Auskultasi
Sulit dilakukan karena uterus tegang, bila denyut jantung terdengar biasanya di atas 140, kemudian turun di bawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari satu per tiga bagian.
e.    Pemeriksaan Dalam
1)   Serviks dapat telah terbuka atau masih tertutup.
2)   Kalau sudah terbuka maka plasenta dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu his maupun di luar his.
3)   Apabila plasenta sudah pecah dan sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini akan turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus placenta, ini sering meragukan dengan plasenta previa.
f.     Pemeriksaan Umum
Tekanan darah semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita penyakit vaskuler, tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh dalam keadaan syok. Nadi cepat, kecil dan filiformis.
g.    Pemeriksaan Laboratorium
1)   Urin : Albumin (+), pada pemeriksaan sedimen dapat ditemukan silinder dan leukosit.
2)   Darah : Hb menurun, periksa golongan darah, lakukan cross-match test. Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah hipofibrinogenemia, maka diperiksakan pula COT (Clot Observation test) tiap l jam, tes kualitatif fibrinogen (fiberindex), dan tes kuantitatif fibrinogen (kadar normalnya 15O mg%).
h.    Pemeriksaan Plasenta
Plasenta dapat diperiksa setelah dilahirkan. Biasanya tampak tipis dan cekung di bagian plasenta yang terlepas (kreater) dan terdapat koagulum atau darah beku yang biasanya menempel di belakang plasenta yang disebut hematoma retroplacenter.
i.      Pemeriksaaan Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG yang dapat ditemukan antara lain:
1)   Terlihat daerah terlepasnya plasenta-Janin dan kandung kemih ibu.
2)   Darah.
3)   Tepian plasenta.
usg
Gambar Solutio Plasenta Berdasarkan Hasil USG

Penanganan kasus-kasus solusio plasenta didasarkan kepada berat atau ringannya gejala klinis, yaitu:
  1. Solusio plasenta ringan
Ekspektatif, bila usia kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada perbaikan (perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup) dengan tirah baring dan observasi ketat, kemudian tunggu persalinan spontan.
Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung terus, gejala solusio plasenta makin jelas, pada pemantauan dengan USG daerah solusio plasenta bertambah luas), maka kehamilan harus segera diakhiri. Bila janin hidup, lakukan seksio sesaria, bila janin mati lakukan amniotomi disusul infus oksitosin untuk mempercepat persalinan.
  1. Solusio plasenta sedang dan berat
Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan, penanganan di rumah sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus oksitosin dan jika perlu seksio sesaria.
Apabila diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan berarti perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 1000 ml. Maka transfusi darah harus segera diberikan. Amniotomi akan merangsang persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin. Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu yang mungkin akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari hematom subkhorionik dan terjadinya pembekuan intravaskuler dimana-mana. Persalinan juga dapat dipercepat dengan memberikan infus oksitosin yang bertujuan untuk memperbaiki kontraksi uterus yang mungkin saja telah mengalami gangguan.
Gagal ginjal sering merupakan komplikasi solusio plasenta. Biasanya yang terjadi adalah nekrosis tubuli ginjal mendadak yang umumnya masih dapat tertolong dengan penanganan yang baik. Tetapi bila telah terjadi nekrosis korteks ginjal, prognosisnya buruk sekali. Pada tahap oliguria, keadaan umum penderita umumnya masih baik. Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang teliti yang harus secara rutin dilakukan pada penderita solusio plasenta sedang dan berat, apalagi yang disertai hipertensi menahun dan preeklamsia. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang, pemberantasan infeksi yang mungkin terjadi, mengatasi hipovolemia, menyelesaikan persalinan secepat mungkin dan mengatasi kelainan pembekuan darah.
Kemungkinan kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan pengamatan pembekuan darah. Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari bahaya hepatitis, oleh karena itu pengobatan dengan fibrinogen hanya pada penderita yang sangat memerlukan, dan bukan pengobatan rutin. Dengan melakukan persalinan secepatnya dan transfusi darah dapat mencegah kelainan pembekuan darah.
Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi jika itu tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infus oksitosin, maka satu-satunya cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria.
Apoplexi uteroplacenta (uterus couvelaire) tidak merupakan indikasi histerektomi. Akan tetapi, jika perdarahan tidak dapat dikendalikan setelah dilakukan seksio sesaria maka tindakan histerektomi perlu dilakukan.
9.      Penatalaksanaan
a.      Konservatif
Menunda pelahiran mungkin bermamfaat pada janin masih imatur serta bila solusio plasenta hanya berderajat ringan. Tidak adanya deselerasi tidak menjamin lingkungan intra uterine aman. Harus segera dilakukan langkah-langkah untuk memperbaiki hipovolemia, anemia dan hipoksia ibu sehingga fungsi plasenta yang masih berimplantasi dapat dipulihkan. Tokolisis harus di anggap kontra indikasi pada solusio plasenta yang nyata secara klinis
b.      Aktif
Pelahiran janin secara cepat yang hidup hampir selalu berarti seksio caesaria. Seksio sesaria kadang membahayakan ibu karena ia mengalami hipovolemia berat dan koagulopati konsumtif. Apabila terlepasnya plasenta sedemikian parahnya sehingga menyebabkan janin meninggal lebih dianjurkan persalinan pervaginam kecuali apabila perdarahannya sedemikian deras sehingga tidak dapat di atasi bahkan dengan penggantian darah secara agresif atau terdapat penyulit obstetric yang menghalangi persalinan pervaginam.
C.    Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1.       Pengkajian
a.       Identitas klien secara lengkap
b.      Keluhan utama
1)      Pasien mengatakan perdarahan yang disertai nyeri
2)         Rahim keras seperti papan dan nyeri tekan karena isi rahim bertambah dengan dorongan yang berkumpul dibelakang plasenta, sehingga rahim tegang.
3)       Perdarahan yang berulang-ulang.
c.       Riwayat penyakit sekarang
Darah terlihat merah kehitaman karena membentuk gumpalan darah, darah yang keluar sedikit banyak, terus menerus. Akibat dari perdarahan pasien lemas dan pucat. Sebelumnya biasanya pasien pernah mengalami hypertensi esensialis atau pre eklampsi, tali pusat pendek trauma, uterus yang sangat mengecil (hydroamnion gameli) dll.
d.      Riwayat penyakit masa lalu
Kemungkinan pasien pernah menderita penyakit hipertensi / pre eklampsi, tali pusat pendek atau trauma uterus
e.       Riwayat psikologis
Pasien cemas karena mengalami perdarahan disertai nyeri, serta tidak mengetahui asal dan penyebabnya.
f.       Pemeriksaan fisik
1)      Keadaan umum yaitu Kesadaran : composmetis s/d apatis, postur tubuh : biasanya gemuk, dan raut wajah : biasanya pucat
2)      Tanda-tanda vital yaitu tensi : normal sampai turun (syok),  nadi : normal sampai meningkat (> 90x/menit), suhu : normal / meningkat (> 37o c), RR : normal / meningkat (> 24x/menit)
3)      Pemeriksaan cepalo caudal yaitu kepala : kulit kepala biasanya normal / tidak mudah mengelupas rambut biasanya rontok / tidak rontok,  muka : biasanya pucat, tidak oedema ada cloasma,  hidung : biasanya ada pernafasan cuping hidung,  mata : conjunctiva anemis.  Dada : bentuk dada normal, RR meningkat, nafas cepat dan dangkal. Abdomen, Inspeksi : perut besar (buncit), terlihat etrio pada area perut, terlihat linea alba dan ligra, Palpasi rahim keras, fundus uteri naik, Auskultasi : tidak terdengar DJJ, tidak terdengar gerakan janin. Genetalia yaitu  hiperpregmentasi pada vagina, vagina berdarah / keluar darah yang merah kehitaman, terdapat farises pada kedua paha / femur.  Ekstimitas yaitu akral dingin, tonus otot menurun.
g.      Pemeriksaan Penunjang
1)      Darah : Hb, hemotokrit, trombosit, fibrinogen, elektrolit.
2)      USG untuk mengetahui letak plasenta,usia gestasi, keadaan janin.
3)      Kardioktokgrafi : untuk mengetahui kesejahteraan janin

2.      Diagnosa Keperawatan
a.       Gangguan perfusi jaringan b.d.  perdarahan ditandai dengan conjungtiva anemis , akral dingin , Hb turun , muka pucat, dan lemas .
b.      Risiko tinggi terjadinya letal distress berhubungan dengan perfusi darah ke plasenta berkurang .
c.       Nyeri akut b.d.  kontraksi uterus ditandai terjadi distress / pengerasan uterus , nyeri tekan uterus
d.      Cemas b.d. kurang terpapar informasi klien mengenai keadaan patologi yang dialaminya .
e.       Risiko  terjadinya shock hemoragik b.d. perdarahan



3.      Rencana Keperawatan
No.
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Rencana Keperawatan
Rasional
1.
Gangguan perfusi jaringan b.d. perdarahan ditandai dengan conjungtiva anemis , akral dingin , Hb turun , muka pucat, dan lemas .
Setelah diberikan askep, diharapkan perfusi jaringan pasien adekuat, dengan kriteria hasil :
-          Conjunctiva tidakanemis
-          Akral hangat
-           Hb normal
-          Muka tidak pucat, dan pasien tidak lemas.
1.      Monitor tanda tanda vital
TD, frekuensi nadi yang rendah, frekuensi RR dan suhu tubuh yang tinggi menunjukkan gangguan sirkulasi darah
2.      Observasi tingkat pendarahan setiap 15-20 menit
Mengantisipasi terjadinya shock
3.      Catat intake dan output
Produksi urin yang kurang dari 30 ml/jam menunjukkan penurunan fungsi ginjal
4.       Kolaborasi dalam pemberian terapi infuse isotonik
Cairan infus isotonic dapat mengganti volume darah yang hilang akibat pendarahan
5.       Kolaborasi dalam pemberian tranfusi darah apabila Hb rendah
Tranfusi darah dapat menggan volume darah yang hilang akibat pendarahan
2.
Risiko tinggi terjadinya letal distress berhubungan dengan perfusi darah ke plasenta berkurang .
Setelah diberikan askep, diharapkan tidak terjadi fetal distress, dengan kriteria hasil:
-          DJJ normal/terdengar
-          Adanya pergerakan bayi
-          Bayi lahir selamat
1.       Jelaskan risiko terjadinya distress janin/kematian janin pada ibu
Memberikan penjelasan mengenai  risiko terjadinya distress janin pada klien membuat klien kooperatif pada setiap tindakan yang akan diberikan
2.      Observasi perubahan frekuensi dan pola DJ janin
Penurunan frekuensi plasenta mengurangi kadar oksigen janin sehingga menyebabkan perubahan frekuensi jantung janin
3.      Berikan O2 10-12 liter dengan masker jika terjadi tanda-tanda fetal distress
Meningkatkan supali oksigen janin
3.
Nyeri akut b.d.  kontraksi uterus ditandai terjadi distress / pengerasan uterus , nyeri tekan uterus
Setelah diberikan askep, diharapkan klien dapat beradaptasi dengan nyeri yang dideritanya, dengan kriteria hasil :
-         Klien dapat melakukan tindakan untuk mengurangi nyeri.
-         Klien kooperatif dengan tindakan yang diberikan
1.      Jelaskan penyebab nyeri pada klien
Memberikan informasi mengani penyabab nyeri yang dideritanya akan membuat klien kooperatif dengantindakan yang akan diberikan
2.      Ajarkan teknik relaksasi distraksi pernapasan
Teknik relaksasi distraksi pernapasan dapat mendorong klien relaks dan memberikan klien cara mengatasi dan mengontrol tingkat nyeri
3.      Berikan posisi yang nyaman (miring ke kiri / kanan)
Posisi miring mencegah penekanan pada vena cava
4.      Berikan teknik relaksasi massage pada perut dan punggung
Meningkatkan relaksasi dan meningkatkan kooping dan kontrol klien terhadap nyeri
5.      Libatkan suami dan keluarga dalam tindakan pengontrolan nyeri
Melibatkan suami dan keluarga dapat memberikan dukungan mental kepada klien
6.      Kolaborasi dalam pemberian obat analgetik
Obat analgetik dapat mengurangi nyeri yang dirasakan klien dengan memblok impuls nyeri
4.
Cemas b.d. kurang terpapar informasi klien mengenai keadaan patologi yang dialaminya
Setelah diberikan askep, diharapkan klien tidak cemas dan dapat mengerti tentang keadaannya, dengan kriteria hasil :
-         Klien melaporkan cemas berkurang
-         Klien tampak tenang dan tidak gelisah
1.      Anjurkan klilen untuk mengemukakan hal-hal yang dicemaskan
Mengungkapkan perasaan tentang hal-hal yang dicemaskan dapat mengurangi beban pikiran klien
2.      Beri penjelasan tentang kondisi janin
Mengurangi kecemasan klien mengenai kondisi janinnya
3.      Beri penjelasan tentang kondisi klien
Mengurangi kecemasan klien mengenai kondisinya
4.      Anjurkan keluarga untuk mendampingi dan memberi dukungan kepada klien
Dukungan keluarga dapat memberikan rasa aman kepada klien dan mengurangi kecemasan klien
5.      Anjurkan penggunaan/kontinuitas teknik pernapasan dan latihan relaksasi.
Memberikan perasaan rileks sehingga dapat menurunkan kecemasan klien
5.
Risiko terjadinya shock hemoragik b.d. perdarahan
Setelah diberikan askep, diharapkan shock hipovolemik tidak terjadi, dengan kriteria hasil :
-        Perdarahan berkurang
-        TTV normal
-        Kesadaran komposmentis
1.      Kaji pendarahan setiap 15-30 menit
Mengetahui adanya gejala syok sedini mungkin.
2.      Oservasi TTV setiap 15 menit dan apabila TTV normal, observasi TTV dilakukan setiap 30 menit
Mengetahui kondisi klien dan untuk mengetahui adanya gejala syok sedini mungkin
3.      Awasi adanya tanda-tanda syok, pucat, keringat dingin, dankepala pusing.
Mendeteksi adanya gejala syok sedini mungkin
4.      Kolaborasi dalam pemberian terapi cairan
Mempertahankanvolume cairan sehingga sirkulasi bisa adekuat


0 komentar:

Posting Komentar