BAB
II
LANDASAN
TEORI
Sectio Cesarea |
A.
Konsep Sectio
Cesarea
1.
Pengertian
Sectio caesarea adalah suatu tindakan pembedahan
untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Pada
masa sekarang sectio caesarea jauh lebih aman dari pada dulu dengan adanya
antibiotika, tranfusi darah, teknik operasi yang lebih sempurna dan anestesi
yang lebih baik, karena itu terjadi kecenderungan untuk melakukan sectio
caesarea tanpa dasar yang cukup kuat, dalam hubungan ini perlu diingat bahwa
seorang ibu yang telah mengalami pembedahan sectio caesarea pasti akan mendapat
parut uterus dan tiap kehamilan serta persalinan berikutnya memerlukan
pengawasan yang cermat berhubungan dengan bahayanya ruptur uteri (Wiknjosastro,
2005).
Pembedahan yang paling banyak dilakukan ialah
sectio caesarea transperntonealis profunda dengan insisi di segmen di bawah
uterus, keuntungannya adalah perdarahan luka insisi tidak seberapa banyak,
bahaya peritonitis tidak besar dan parut pada uterus yang umumnya kuat sehingga
bahaya ruptur uteri dikemudian hari tidak besar karena dalam masa nifas segmen
bawah uterus tidak seberapa banyak mengalami kontraksi seperti korpus uteri,
sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna (Wiknjosastro, 2005).
Sectio cesarea adalah suatu cara yang dilakukan
untuk melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui
dinding depan perut atau vagina, dengan kata lain sectio caesarea adalah suatu
histerotomia untuk melahirkan janin dalam rahim (Mochtar, 1998).
Menurut Wiknjosastro (2002) sectio caesarea adalah
suatu tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat diatas 500 gr melalui sayatan
pada dinding uterus yang utuh. Berdasarkan teori di atas penulis menyimpulkan
bahwa sectio caesarea adalah suatu proses pembedahan dinding perut dan uterus
untuk melahirkan janin, yang dilakukan bila terdapat komplikasi atau kasus
patologi yang menyertai kehamilan yang bertujuan untuk mengurangi mobiditas dan
mortalitas.
2. Teknik Sectio Caesarea
Sectio
caesarea memiliki dua tipe, yang pertama ialah dengan melakukan insisi melintang
melalui segmen bawah uteri yang teregang. Yang kedua adalah teknik sectio
caesarea klasik yaitu dengan insisi vertikal pada miometrium, namun jarang
dilakukan, kecuali jika terjadi vaskularisasi di segmen bawah uteri yang banyak
sekali atau tidak dapat dilakukan karena perlengketan yang luas atau posisi
janin letak lintang dengan bahu terjepit (Jones, 2002).Teknik operasi dapat
dilakukan sebagai berikut:
a. Peritoneum yang menutupi segmen bawah uterus
dibelah dan didorong ke bawah.
b. Otot segmen bawah yang terbuka di insisi sehingga
selaput ketuban menonjol ke dalam luka, sehingga insisi dapat diperluas.
Selaput ketuban dipecahkan dan kepala dilahirkan dengan menggunakan forsep sebagai bidang miring, fundus di tekan ke bawah.
Keluarkan plasenta.
Selaput ketuban dipecahkan dan kepala dilahirkan dengan menggunakan forsep sebagai bidang miring, fundus di tekan ke bawah.
Keluarkan plasenta.
c. Penjahitan luka insisi dilakukan lapis demi lapis
dengan jahitan di sudut luka harus dilakukan dengan cermat.
d. Kemudian dilakukan penjahitan peritoneum (Jones,
2002).
Perawatan pasca operasi tidak berbeda dengan
operasi abdomen lainnya, pasien dianjurkan dengan ambulasi dini, terutama
karena banyak neonatus hanya dirawat dalam kamar perawatan selama 24 – 48 jam.
Sectio caesarea merupakan operasi yang aman, dengan angka kegagalan 0,1 per
1000 sectio caesarea yang dilakukan secara elektif (Jones, 2002).
B.
Konsep Solutio Plasenta
1.
Pengertian
Solulusio
plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya sebelum
janin lahir diberi beragam sebutan; abruption plasenta, accidental haemorage.
Beberapa jenis perdarahan akibat solusio plasenta biasanya merembes diantara
selaput ketuban dan uterus dan kemudian lolos keluar menyebabkan perdarahan
eksternal. Yang lebih jarang, darah tidak keluar dari tubuh tetapi tertahan
diantara plasenta yang terlepas dn uterus serta menyebabkan perdarahan yang
tersembunyi. Solusio
plasenta dapat total atau parsial.
Gambar
Normal dan Solutio Plasenta
2.
Klasifikasi
dan Macam Solutio Plasenta
a. Solusio
plasenta ringan. Perdarahannya kurang
dari 500 cc dengan lepasnya plasenta kurang dari seperlima bagian. Perut ibu
masih lemas sehingga bagian janin mudah di raba. Tanda gawat janin belum tampak
dan terdapat perdarahan hitam per vagina.
b. Solusio
plasenta sedang. Lepasnya plasenta
antara seperempat sampai dua pertiga bagian dengan perdarahan sekitar 1000 cc.
perut ibu mulai tegang dan bagian janin sulit di raba. Janin sudah mengalami gawat
janin berat sampai IUFD. Pemeriksaan dalam menunjukkan ketuban tegang. Tanda
persalinan telah ada dan dapat berlangsung cepat sekitar 2 jam.
c. Solusio
plasenta berat. Lepasnya plasenta
sudah melebihi dari dua pertiga bagian. Perut nyeri dan tegang dan bagian janin
sulit diraba, perut seperti papan. Janin sudah mengalami gawat janin berat
sampai IUFD. Pemeriksaan dalam ditemukan ketuban tampak tegang. Darah dapat
masuk otot rahim, uterus Couvelaire yang menyebabkan Antonia uteri serta
perdarahan pascapartus. Terdapat gangguan pembekuan darah fibribnogen kurang
dari 100-150 mg%. pada saat ini gangguan ginjal mulai Nampak.
d. Cunningham dan
Gasong masing-masing dalam bukunya mengklasifikasikan solusio plasenta menurut
tingkat gejala klinisnya, yaitu:
1) Ringan : perdarahan kurang 100-200
cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda renjatan, janin hidup, pelepasan
plasenta kurang 1/6 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma lebih 150 mg%.
2)
Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat
tanda pre renjatan, gawat janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta
1/4-2/3 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%.
3)
Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat
tanda renjatan, janin mati, pelepasan plasenta dapat terjadi lebih 2/3 bagian
atau keseluruhan.
3.
Penyebab Solusio Plasenta
a. Trauma
langsung Abdomen
b. Hipertensi
ibu hamil
c. Umbilicus
pendek atau lilitan tali pusat
d. Janin
terlalu aktiv sehingga plasenta dapat terlepas
e. Tekanan
pada vena kafa inferior
f. Preeklamsia/eklamsia
g. Tindakan
Versi luar
h. Tindakan
memecah ketuban (hamil biasa, pada hidramnion, setelah anak pertama hamil
ganda)
4.
Etiologi
Kausa primer
solusio plasenta belum diketahui tetapi terdapat beberapa kondisi terkait,
sebagai berikut:
Ris Relatif
Faktor
Risiko
(%)
|
Bertambahnya
usia dan paritas
NA
Preeklamsia
2.1-4.0
Hipertensi
kronik
1.8-3.0
Ketuban
pecah dini
2.4-3.0
Merokok
1.4-1.9
Trombofilia
NA
Pemakaian
kokain
NA
Riwayat
solusio
10-25
Leiomioma
uterus
NA
|
NA = tidak
tersedia
Dikutip dari
Cunningham dan Hollier (1997); data risiko dari Ananth dkk. (1999a, 1999b)
dan Kramer dkk. (1997).
|
Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara
pasti, namun ada beberapa faktor yang menjadi predisposisi :
a. Faktor kardiorenovaskuler
Glomerulonefritis
kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan eklamsia. Pada
penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat hipertensi pada separuh kasus
solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita yang hipertensi tersebut
mempunyai penyakit hipertensi kronik, sisanya hipertensi yang disebabkan oleh
kehamilan. Dapat terlihat solusio plasenta cenderung berhubungan dengan adanya
hipertensi pada ibu
b. Faktor trauma
Trauma yang
dapat terjadi antara lain:
·
Dekompresi uterus pada hidroamnion dan
gemeli.
·
Tarikan pada tali pusat yang pendek
akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar atau tindakan pertolongan
persalinan.
·
Trauma langsung, seperti jatuh, kena
tendang, dan lain-lain.
c. Faktor paritas ibu
Lebih banyak
dijumpai pada multipara dari pada primipara. Holmer mencatat bahwa dari 83
kasus solusio plasenta yang diteliti dijumpai 45 kasus terjadi pada wanita
multipara dan 18 pada primipara. Pengalaman di RSUPNCM menunjukkan peningkatan
kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu dengan paritas tinggi. Hal ini dapat
diterangkan karena makin tinggi paritas ibu makin kurang baik keadaan
endometrium.
d. Faktor usia
ibu
Dalam
penelitian Prawirohardjo di RSUPNCM dilaporkan bahwa terjadinya peningkatan
kejadian solusio plasenta sejalan dengan meningkatnya umur ibu. Hal ini dapat
diterangkan karena makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi
menahun.
5. Leiomioma
uteri (uterine leiomyoma) yang hamil dapat menyebabkan solusio plasenta apabila
plasenta berimplantasi di atas bagian yang mengandung leiomioma.
6. Faktor
pengunaan kokain
Penggunaan
kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan peningkatan pelepasan
katekolamin, yang mana bertanggung jawab atas terjadinya vasospasme
pembuluh darah uterus dan dapat berakibat terlepasnyaplasenta . Namun,
hipotesis ini belum terbukti secara definitif. Angka kejadian solusio plasenta pada
ibu-ibu penggunan kokain dilaporkan berkisar antara 13-35%.
7. Faktor
kebiasaan merokok
Ibu yang perokok juga merupakan
penyebab peningkatan kasus solusio plasenta sampai dengan 25% pada ibu yang
merokok ≤ 1 (satu) bungkus per hari. Ini dapat diterangkan pada ibu yang
perokok plasenta menjadi tipis, diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas
pada mikrosirkulasinya. Deering dalam penelitiannya melaporkan bahwa resiko terjadinya
solusio plasenta meningkat 40% untuk setiap tahun ibu merokok sampai terjadinya
kehamilan.
8. Riwayat solusio plasenta sebelumnya
Hal yang sangat penting dan
menentukan prognosis ibu dengan riwayat solusio plasenta adalah bahwa resiko
berulangnya kejadian ini pada kehamilan berikutnya jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan ibu hamil lainnya yang tidak memiliki riwayat solusio plasenta
sebelumnya.
9. Pengaruh lain,
seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada vena cava
inferior dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh adanya kehamilan, dan
lain-lain.
5.
Patologi
Solusio
plasenta di awali perdarahan kedalam desidua basalis. Desidua kemudian
terpisah, meninggalkan satu lapisan tipis yang melekat ke endometrium.
Akibatnya, proses ini pada tahapnya yang paling awal memperlihatkan pembentukan
hematom desidua yang menyebabkan pemisahan, penekanan, dan akhirnya destruksi
plasenta yang ada di dekatnya. Pada tahap awal mungkin belum ada gejala klinis.
Pada beberapa
kasus, arteri spiralis desidua mengalami rupture sehingga menyebabkan hematom
retroplasenta, yang sewaktu membesar semakin banyak pembuluh darah dan plasenta
yang terlepas. Bagian plasenta yang memisah dengan cepat meluas dan mencapai
tepi plasenta. Karena masih teregang oleh hasil konsepsi, uterus tidak dapat
beronntraksi untuk menjepit pembuluh darah yang robek yang memperdarahi tempat
implantasi plasenta. Darah yang keluar dapat memisahkan selaput ketuban dari
dinding uterus dan akhirnya muncul sebagai perdarahan eksternal, atau mungkin
tetap tertahan dalam uterus.
6.
Gambaran Klinis
Solutio
plasenta ringan
Terjadi rupture
sinus masrginalis. Bila terjadi perdarahan pervaginam warna merah kehitaman,
perut terasa agak sakit atau terus menerus agak tegang. Tetapi bagian-bagian janin masih
teraba
Solution plasenta sedang
Plasenta telah terlepas
seperempat sampai duapertiga luas permukaan. Tanda dan gejala dapat timbul
perlahan seperti pada solution plasenta ringan atau mendadak dengan
gejala sakit perut terus menerus, nyeri tekan, bagian janin sukar di raba., BJA
sukar di raba dengan stetoskop biasa. Sudah dapat terjadi kelainan pembekuan darah atau ginjal.
Solution plasenta berat
Plasenta telah lepas
lebih duapertiga luas permukaannya, terjadi tiba-tiba, ibu syok janin
meningggal. Uterus tegang seperti papan dan sangat nyeri. Perdarahan pervaginam
tidak sesuai dengan keadaan syok ibu. Besar kemungkinan telah terjadi gangguan pembekuan darah dan
ginjal.
Komplikasi
solusio plasenta pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas, usia kehamilan dan lamanya solusio
plasenta berlangsung. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu :
a. Syok perdarahan
Pendarahan
antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak dapat
dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan
telah diselesaikan, penderita belum bebas dari perdarahan postpartum karena kontraksi uterus
yang tidak kuat untuk menghentikan perdarahan pada kala III persalinan dan adanya kelainan pada pembekuan
darah. Pada solusio plasenta berat keadaan syok
sering tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang terlihat.
Titik akhir dari
hipotensi yang persisten adalah asfiksia, karena itu pengobatan segera ialah pemulihan
defisit volume intravaskuler secepat mungkin. Angka kesakitan dan kematian ibu
tertinggi terjadi pada solusio plasenta berat. Meskipun kematian dapat terjadi
akibat nekrosis hipofifis dan gagal ginjal, tapi mayoritas kematian disebabkan
syok perdarahan dan penimbunan cairan yang berlebihan. Tekanan darah tidak
merupakan petunjuk banyaknya perdarahan, karena
vasospasme akibat perdarahan akan meninggikan tekanan darah.
Pemberian terapi cairan bertujuan mengembalikan stabilitas hemodinamik
dan mengkoreksi keadaan koagulopathi. Untuk
tujuan ini pemberian darah segar adalah pilihan yang ideal, karena pemberian darah segar selain dapat memberikan
sel darah merah juga dilengkapi oleh
platelet dan faktor pembekuan.
b. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi
yang sering terjadi pada penderita solusio plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipovolemia karena
perdarahan yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang
mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang baik.
Perfusi ginjal akan terganggu karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri
dan proteinuri akan terjadi akibat nekrosis tubuli atau nekrosis korteks ginjal
mendadak. Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran
pengeluaran urin yang harus secara rutin dilakukan
pada solusio plasenta berat. Pencegahan
gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang
secukupnya, pemberantasan infeksi, atasi hipovolemia, secepat mungkin menyelesaikan
persalinan dan mengatasi kelainan pembekuan darah.
c. Kelainan
pembekuan darah
Kelainan
pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya
disebabkan oleh hipofibrinogenemia. Dari penelitian yang dilakukan oleh
Wirjohadiwardojo di RSUPNCM dilaporkan kelainan pembekuan darah terjadi pada
46% dari 134 kasus solusio plasenta yang
ditelitinya.
Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup bulan ialah 450 mg%, berkisar antara
300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen plasma kurang dari 100 mg% maka akan terjadi
gangguan pembekuan darah. Mekanisme gangguan pembekuan darah terjadi melalui
dua fase, yaitu:
1) Fase I
Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi
pembekuan darah, disebut disseminated
intravasculer clotting. Akibatnya ialah
peredaran darah kapiler (mikrosirkulasi) terganggu. Jadi pada fase I, turunnya kadar fibrinogen disebabkan karena
pemakaian zat tersebut, maka fase I
disebut juga coagulopathi
consumptive. Diduga bahwa hematom subkhorionik mengeluarkan tromboplastin
yang menyebabkan pembekuan intravaskuler tersebut. Akibat gangguan
mikrosirkulasi dapat mengakibatkan syok, kerusakan jaringan pada alat-alat yang
penting karena hipoksia dan kerusakan ginjal yang dapat menyebabkan
oliguria/anuria.
2) Fase II
Fase ini sebetulnya fase regulasi
reparatif, yaitu usaha tubuh untuk membuka
kembali peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha ini dilaksanakan
dengan fibrinolisis. Fibrinolisis yang
berlebihan malah berakibat lebih menurunkan
lagi kadar fibrinogen sehingga terjadi perdarahan patologis. Kecurigaan
akan adanya kelainan pembekuan darah harus dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium, namun di klinik pengamatan pembekuan darah merupakan cara pemeriksaan yang terbaik karena pemeriksaan laboratorium lainnya memerlukan waktu terlalu lama, sehingga hasilnya
tidak mencerminkan keadaan penderita saat itu.
d. Apoplexi
uteroplacenta (Uterus couvelaire)
Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam
otot-otot rahim dan di bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum
latum. Perdarahan ini menyebabkan gangguan kontraktilitas uterus dan warna
uterus berubah menjadi biru atau ungu yang biasa disebut Uterus couvelaire. Tapi
apakah uterus ini harus diangkat atau
tidak, tergantung pada kesanggupannya dalam membantu menghentikan
perdarahan. Komplikasi yang dapat terjadi
pada janin:
1) Fetal distress
2) Gangguan pertumbuhan/perkembangan
3) Hipoksia dan
anemia
4)
Kematian
8.
Diagnosis
Keluhan
dan gejala pada solusio plasenta dapat bervariasi cukup luas. Sebagai contoh, perdarahan eksternal dapat
banyak sekali meskipun pelepasan plasenta belum begitu luas sehingga
menimbulkan efek langsung pada janin, atau dapat juga terjadi perdarahan eksternal tidak ada, tetapi plasenta sudah terlepas seluruhnya dan janin meninggal sebagai akibat langsung dari
keadaan ini.
Solusio plasenta dengan perdarahan
tersembunyi mengandung ancaman bahaya yang jauh lebih besar bagi ibu,
hal ini bukan saja terjadi akibat kemungkinan koagulopati yang lebih tinggi,
namun juga akibat intensitas perdarahan yang
tidak diketahui sehingga pemberian transfusi sering tidak memadai atau
terlambat.
Menurut penelitian retrospektif yang
dilakukan Hurd dan kawan-kawan pada 59 kasus solusio plasenta dilaporkan gejala
dan tanda pada solusio plasenta.
Tabel Tanda dan Gejala Pada Solusio Plasenta
No.
|
Tanda atau Gejala
|
Frekuensi (%)
|
1.
|
Perdarahan
pervaginam
|
78
|
2.
|
Nyeri
tekan uterus atau nyeri pinggang
|
66
|
3.
|
Gawat
janin
|
60
|
4.
|
Persalinan
prematur idiopatik
|
22
|
5.
|
Kontraksi
berfrekuensi tinggi
|
17
|
6.
|
Uterus
hipertonik
|
17
|
7.
|
Kematian
janin
|
15
|
Dari
tabel di atas dapat dilihat bahwa perdarahan pervaginam merupakan gejala atau
tanda dengan frekuensi tertinggi pada kasus-kasus solusio plasenta. Berdasarkan
kepada gejala dan tanda yang terdapat pada solusio plasenta klasik
umumnya tidak sulit menegakkan diagnosis, tapi tidak demikian halnya pada bentuk solusio plasenta sedang dan ringan. Solusio plasenta klasik
mempunyai ciri-ciri nyeri yang hebat pada perut yang datangnya cepat disertai uterus yang tegang terus menerus
seperti papan, penderita menjadi anemia
dan syok, denyut jantung janin tidak terdengar dan pada pemeriksaan palpasi
perut ditemui kesulitan dalam meraba
bagian-bagian janin.
Prosedur pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis
solusio plasenta antara lain :
a. Anamnesis.
1) Perasaan sakit yang
tiba-tiba di perut,
kadang-kadang pasien dapat menunjukkan
tempat yang dirasa paling sakit.
2) Perdarahan pervaginam yang sifatnya
dapat hebat dan sekonyong-konyong (non-recurrent) terdiri dari darah segar dan bekuan-bekuan darah
yang berwarna kehitaman.
3) Pergerakan anak mulai hebat kemudian
terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak
tidak bergerak lagi).
4) Kepala terasa pusing, lemas, muntah,
pucat, mata berkunang-kunang. Ibu terlihat anemis yang tidak sesuai dengan
jumlah darah yang keluar pervaginam.
5) Kadang ibu
dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.
b. Inspeksi.
1) Pasien gelisah,
sering mengerang karena kesakitan.
2) Pucat, sianosis dan berkeringat
dingin.
3) Terlihat darah keluar pervaginam
(tidak selalu).
c. Palpasi
1) Tinggi fundus
uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya kehamilan.
2) Uterus tegang
dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden uterus) baik waktu his
maupun di luar his.
3) Nyeri tekan di
tempat plasenta terlepas.
4) Bagian-bagian
janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang.
d. Auskultasi
Sulit dilakukan karena uterus
tegang, bila denyut jantung terdengar biasanya di atas 140, kemudian turun di
bawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari satu per tiga bagian.
e.
Pemeriksaan Dalam
1) Serviks dapat telah terbuka atau
masih tertutup.
2) Kalau sudah terbuka maka plasenta
dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu his maupun di luar his.
3) Apabila plasenta sudah pecah dan
sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini akan turun ke bawah dan teraba pada
pemeriksaan, disebut prolapsus placenta, ini sering meragukan dengan plasenta previa.
f. Pemeriksaan Umum
Tekanan darah
semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita penyakit vaskuler,
tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh dalam keadaan syok. Nadi cepat, kecil
dan filiformis.
g.
Pemeriksaan Laboratorium
1) Urin : Albumin (+), pada pemeriksaan
sedimen dapat ditemukan silinder dan leukosit.
2) Darah : Hb menurun, periksa golongan darah, lakukan cross-match test. Karena pada solusio plasenta
sering terjadi kelainan pembekuan darah
hipofibrinogenemia, maka diperiksakan pula
COT (Clot Observation test) tiap l jam, tes kualitatif fibrinogen (fiberindex), dan tes kuantitatif fibrinogen
(kadar normalnya 15O mg%).
h. Pemeriksaan Plasenta
Plasenta dapat diperiksa setelah
dilahirkan. Biasanya tampak tipis dan
cekung di bagian plasenta yang
terlepas (kreater) dan terdapat koagulum atau darah beku yang biasanya
menempel di belakang plasenta yang disebut hematoma retroplacenter.
i. Pemeriksaaan Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG yang dapat
ditemukan antara lain:
1) Terlihat daerah terlepasnya plasenta-Janin
dan kandung kemih ibu.
2) Darah.
3) Tepian plasenta.
Gambar Solutio Plasenta Berdasarkan Hasil
USG
Penanganan kasus-kasus solusio plasenta
didasarkan kepada berat atau ringannya gejala klinis, yaitu:
- Solusio plasenta ringan
Ekspektatif,
bila usia kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada perbaikan (perdarahan
berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup) dengan tirah baring
dan observasi ketat, kemudian tunggu persalinan spontan.
Bila ada
perburukan (perdarahan berlangsung terus, gejala solusio plasenta makin jelas, pada pemantauan dengan USG daerah solusio plasenta bertambah luas), maka kehamilan harus segera
diakhiri. Bila janin hidup, lakukan seksio sesaria, bila janin mati lakukan
amniotomi disusul infus oksitosin untuk mempercepat persalinan.
- Solusio plasenta sedang dan berat
Apabila tanda
dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan,
penanganan di rumah sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus oksitosin
dan jika perlu seksio sesaria.
Apabila
diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan berarti perdarahan telah terjadi
sekurang-kurangnya 1000 ml. Maka transfusi darah harus segera diberikan.
Amniotomi akan merangsang persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin.
Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi
dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu yang mungkin akan
mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari hematom subkhorionik dan terjadinya
pembekuan intravaskuler dimana-mana. Persalinan juga dapat dipercepat dengan
memberikan infus oksitosin yang bertujuan untuk memperbaiki kontraksi uterus
yang mungkin saja telah mengalami gangguan.
Gagal ginjal
sering merupakan komplikasi solusio plasenta. Biasanya yang
terjadi adalah nekrosis tubuli ginjal mendadak yang umumnya masih dapat
tertolong dengan penanganan yang baik. Tetapi bila telah terjadi nekrosis
korteks ginjal, prognosisnya buruk sekali. Pada tahap oliguria, keadaan umum
penderita umumnya masih baik. Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui
dengan pengukuran pengeluaran urin yang teliti yang harus secara rutin
dilakukan pada penderita solusio plasenta sedang dan berat, apalagi yang disertai hipertensi menahun dan
preeklamsia. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang,
pemberantasan infeksi yang mungkin terjadi, mengatasi hipovolemia,
menyelesaikan persalinan secepat mungkin dan mengatasi kelainan pembekuan
darah.
Kemungkinan
kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan pengamatan pembekuan
darah. Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari bahaya hepatitis, oleh
karena itu pengobatan dengan fibrinogen hanya pada penderita yang sangat
memerlukan, dan bukan pengobatan rutin. Dengan melakukan persalinan secepatnya
dan transfusi darah dapat mencegah kelainan pembekuan darah.
Persalinan
diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi jika itu tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan amniotomi
dan infus oksitosin, maka satu-satunya cara melakukan persalinan adalah seksio
sesaria.
Apoplexi
uteroplacenta (uterus couvelaire) tidak merupakan indikasi histerektomi.
Akan tetapi, jika perdarahan tidak dapat dikendalikan setelah dilakukan seksio
sesaria maka tindakan histerektomi perlu dilakukan.
9.
Penatalaksanaan
a.
Konservatif
Menunda
pelahiran mungkin bermamfaat pada janin masih imatur serta bila solusio
plasenta hanya berderajat ringan. Tidak adanya deselerasi tidak menjamin
lingkungan intra uterine aman. Harus segera dilakukan langkah-langkah untuk
memperbaiki hipovolemia, anemia dan hipoksia ibu sehingga fungsi plasenta yang
masih berimplantasi dapat dipulihkan. Tokolisis harus di anggap kontra indikasi pada solusio
plasenta yang nyata secara klinis
b.
Aktif
Pelahiran janin secara cepat yang
hidup hampir selalu berarti seksio caesaria. Seksio sesaria
kadang membahayakan ibu karena ia mengalami hipovolemia berat dan koagulopati
konsumtif. Apabila terlepasnya plasenta sedemikian parahnya sehingga
menyebabkan janin meninggal lebih dianjurkan persalinan pervaginam kecuali
apabila perdarahannya sedemikian deras sehingga tidak dapat di atasi bahkan
dengan penggantian darah secara agresif atau terdapat penyulit obstetric yang
menghalangi persalinan pervaginam.
C.
Konsep Dasar
Asuhan Keperawatan
1.
Pengkajian
a.
Identitas klien secara lengkap
b.
Keluhan utama
1) Pasien
mengatakan perdarahan yang disertai nyeri
2)
Rahim keras seperti papan dan nyeri tekan
karena isi rahim bertambah dengan dorongan yang berkumpul dibelakang plasenta,
sehingga rahim tegang.
3)
Perdarahan yang berulang-ulang.
c. Riwayat
penyakit sekarang
Darah
terlihat merah kehitaman karena membentuk gumpalan darah, darah yang keluar
sedikit banyak, terus menerus. Akibat dari perdarahan pasien lemas dan pucat.
Sebelumnya biasanya pasien pernah mengalami hypertensi esensialis atau pre eklampsi,
tali pusat pendek trauma, uterus yang sangat mengecil (hydroamnion gameli) dll.
d. Riwayat
penyakit masa lalu
Kemungkinan
pasien pernah menderita penyakit hipertensi / pre eklampsi, tali pusat pendek
atau trauma uterus
e. Riwayat
psikologis
Pasien
cemas karena mengalami perdarahan disertai nyeri, serta tidak mengetahui asal
dan penyebabnya.
f. Pemeriksaan
fisik
1)
Keadaan umum yaitu Kesadaran : composmetis s/d apatis, postur tubuh : biasanya gemuk, dan raut wajah : biasanya pucat
2)
Tanda-tanda vital yaitu tensi : normal sampai turun (syok), nadi : normal sampai meningkat (> 90x/menit), suhu : normal / meningkat (> 37o c), RR : normal / meningkat (>
24x/menit)
3)
Pemeriksaan cepalo caudal yaitu kepala : kulit kepala biasanya normal / tidak mudah
mengelupas rambut biasanya rontok / tidak rontok, muka : biasanya
pucat, tidak oedema ada cloasma, hidung : biasanya ada pernafasan cuping hidung, mata : conjunctiva anemis. Dada :
bentuk dada normal, RR meningkat, nafas cepat dan dangkal. Abdomen, Inspeksi : perut besar (buncit), terlihat etrio pada area
perut, terlihat linea alba dan ligra, Palpasi rahim keras, fundus uteri naik, Auskultasi : tidak terdengar DJJ, tidak
terdengar gerakan janin. Genetalia yaitu hiperpregmentasi pada vagina, vagina berdarah / keluar
darah yang merah kehitaman, terdapat farises pada kedua paha / femur. Ekstimitas yaitu akral dingin, tonus otot menurun.
g. Pemeriksaan
Penunjang
1)
Darah : Hb, hemotokrit, trombosit,
fibrinogen, elektrolit.
2)
USG untuk mengetahui letak plasenta,usia
gestasi, keadaan janin.
3)
Kardioktokgrafi : untuk mengetahui kesejahteraan janin
2.
Diagnosa Keperawatan
a.
Gangguan perfusi jaringan
b.d. perdarahan ditandai dengan conjungtiva anemis , akral dingin ,
Hb turun , muka pucat, dan lemas .
b.
Risiko tinggi terjadinya letal distress
berhubungan dengan perfusi darah ke plasenta berkurang .
c.
Nyeri akut b.d. kontraksi uterus
ditandai terjadi distress / pengerasan uterus , nyeri tekan uterus
d.
Cemas b.d. kurang terpapar informasi klien
mengenai keadaan patologi yang dialaminya .
e.
Risiko terjadinya shock
hemoragik b.d. perdarahan
3.
Rencana Keperawatan
No.
|
Diagnosa Keperawatan
|
Tujuan dan Kriteria
Hasil
|
Rencana Keperawatan
|
Rasional
|
1.
|
Gangguan perfusi jaringan b.d. perdarahan ditandai dengan
conjungtiva anemis , akral dingin , Hb turun , muka pucat, dan lemas .
|
Setelah diberikan
askep, diharapkan perfusi jaringan pasien adekuat, dengan kriteria hasil :
- Conjunctiva tidakanemis
- Akral hangat
- Hb normal
- Muka tidak pucat, dan pasien tidak lemas.
|
1. Monitor tanda
tanda vital
|
TD, frekuensi nadi
yang rendah, frekuensi RR dan suhu tubuh yang tinggi menunjukkan gangguan
sirkulasi darah
|
2. Observasi
tingkat pendarahan setiap 15-20 menit
|
Mengantisipasi
terjadinya shock
|
|||
3. Catat intake dan output
|
Produksi urin yang
kurang dari 30 ml/jam menunjukkan penurunan fungsi ginjal
|
|||
4. Kolaborasi
dalam pemberian terapi infuse isotonik
|
Cairan infus
isotonic dapat mengganti volume darah yang hilang akibat pendarahan
|
|||
5. Kolaborasi
dalam pemberian tranfusi darah apabila Hb rendah
|
Tranfusi darah dapat
menggan volume darah yang hilang akibat pendarahan
|
|||
2.
|
Risiko tinggi terjadinya letal distress berhubungan dengan perfusi darah
ke plasenta berkurang .
|
Setelah diberikan
askep, diharapkan tidak terjadi fetal distress, dengan kriteria hasil:
- DJJ normal/terdengar
- Adanya pergerakan
bayi
- Bayi lahir selamat
|
1. Jelaskan
risiko terjadinya distress janin/kematian janin pada ibu
|
Memberikan
penjelasan mengenai risiko terjadinya distress janin pada klien
membuat klien kooperatif pada setiap tindakan yang akan diberikan
|
2. Observasi
perubahan frekuensi dan pola DJ janin
|
Penurunan frekuensi
plasenta mengurangi kadar oksigen janin sehingga menyebabkan perubahan
frekuensi jantung janin
|
|||
3. Berikan O2
10-12 liter dengan masker jika terjadi tanda-tanda fetal distress
|
Meningkatkan supali
oksigen janin
|
|||
3.
|
Nyeri akut b.d. kontraksi uterus ditandai terjadi distress /
pengerasan uterus , nyeri tekan uterus
|
Setelah diberikan
askep, diharapkan klien dapat beradaptasi dengan nyeri yang dideritanya,
dengan kriteria hasil :
- Klien dapat melakukan tindakan untuk mengurangi nyeri.
- Klien
kooperatif dengan tindakan yang diberikan
|
1. Jelaskan penyebab nyeri pada klien
|
Memberikan informasi
mengani penyabab nyeri yang dideritanya akan membuat klien kooperatif
dengantindakan yang akan diberikan
|
2. Ajarkan teknik
relaksasi distraksi pernapasan
|
Teknik relaksasi
distraksi pernapasan dapat mendorong klien relaks dan memberikan klien cara
mengatasi dan mengontrol tingkat nyeri
|
|||
3. Berikan posisi yang nyaman (miring ke kiri / kanan)
|
Posisi miring mencegah penekanan pada vena cava
|
|||
4. Berikan teknik
relaksasi massage pada perut dan punggung
|
Meningkatkan
relaksasi dan meningkatkan kooping dan kontrol klien terhadap nyeri
|
|||
5. Libatkan suami dan
keluarga dalam tindakan pengontrolan nyeri
|
Melibatkan suami dan
keluarga dapat memberikan dukungan mental kepada klien
|
|||
6. Kolaborasi dalam
pemberian obat analgetik
|
Obat analgetik dapat
mengurangi nyeri yang dirasakan klien dengan memblok impuls nyeri
|
|||
4.
|
Cemas b.d. kurang terpapar informasi klien mengenai keadaan patologi yang
dialaminya
|
Setelah diberikan
askep, diharapkan klien tidak cemas dan dapat mengerti
tentang keadaannya, dengan kriteria hasil :
- Klien
melaporkan cemas berkurang
- Klien tampak
tenang dan tidak gelisah
|
1. Anjurkan klilen untuk mengemukakan hal-hal yang dicemaskan
|
Mengungkapkan
perasaan tentang hal-hal yang dicemaskan dapat mengurangi beban pikiran klien
|
2. Beri penjelasan tentang kondisi janin
|
Mengurangi kecemasan
klien mengenai kondisi janinnya
|
|||
3. Beri penjelasan tentang kondisi klien
|
Mengurangi kecemasan
klien mengenai kondisinya
|
|||
4. Anjurkan keluarga
untuk mendampingi dan memberi dukungan kepada klien
|
Dukungan keluarga
dapat memberikan rasa aman kepada klien dan mengurangi kecemasan klien
|
|||
5. Anjurkan
penggunaan/kontinuitas teknik pernapasan dan latihan relaksasi.
|
Memberikan perasaan
rileks sehingga dapat menurunkan kecemasan klien
|
|||
5.
|
Risiko terjadinya shock hemoragik b.d. perdarahan
|
Setelah diberikan
askep, diharapkan shock hipovolemik tidak terjadi, dengan
kriteria hasil :
- Perdarahan berkurang
- TTV normal
- Kesadaran komposmentis
|
1. Kaji pendarahan setiap
15-30 menit
|
Mengetahui adanya gejala syok sedini mungkin.
|
2. Oservasi TTV setiap
15 menit dan apabila TTV normal, observasi TTV dilakukan setiap 30 menit
|
Mengetahui kondisi
klien dan untuk mengetahui adanya gejala syok sedini mungkin
|
|||
3. Awasi adanya tanda-tanda syok, pucat, keringat dingin, dankepala
pusing.
|
Mendeteksi adanya
gejala syok sedini mungkin
|
|||
4. Kolaborasi dalam
pemberian terapi cairan
|
Mempertahankanvolume
cairan sehingga sirkulasi bisa adekuat
|
0 komentar:
Posting Komentar